Selasa, 26 Oktober 2010

Fungsi Gunung



Dengan perpanjangannya yang menghujam jauh ke dalam maupun ke atas permukaan bumi, gunung-gunung
menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi yang berbeda, layaknya pasak. Kerak bumi terdiri atas
lempengan-lempengan yang senantiasa dalam keadaan bergerak. Fungsi pasak dari gunung ini mencegah
guncangan dengan cara memancangkan kerak bumi yang memiliki struktur sangat mudah bergerak.
Al Qur’an mengarahkan perhatian kita pada fungsi geologis penting dari gunung.
"Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak)
goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)
Sebagaimana terlihat, dinyatakan dalam ayat tersebut bahwa gunung-gunung berfungsi
mencegah goncangan di permukaan bumi.
Kenyataan ini tidaklah diketahui oleh siapapun di masa ketika Al Qur’an diturunkan. Nyatanya,
hal ini baru saja terungkap sebagai hasil penemuan geologi modern.
Menurut penemuan ini, gunung-gunung muncul sebagai hasil pergerakan dan tumbukan dari
lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak bumi. Ketika dua lempengan
bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya,
sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah
bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini
berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya
dengan yang tampak di permukaan bumi.
Dalam tulisan ilmiah, struktur gunung digambarkan sebagai berikut:
Pada bagian benua yang lebih tebal, seperti pada jajaran pegunungan, kerak bumi akan
terbenam lebih dalam ke dalam lapisan magma. (General Science, Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F.
Howe; Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 305)
Dalam sebuah ayat, peran gunung seperti ini diungkapkan melalui sebuah perumpamaan
sebagai "pasak":
"Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai
pasak?" (Al Qur'an, 78:6-7)
Disadur dari HarunYahya oleh Rika Hermawan



Dengan kata lain, gunung-gunung menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi dengan
memanjang ke atas dan ke bawah permukaan bumi pada titik-titik pertemuan lempenganlempengan
ini. Dengan cara ini, mereka memancangkan kerak bumi dan mencegahnya dari
terombang-ambing di atas lapisan magma atau di antara lempengan-lempengannya.
Singkatnya, kita dapat menyamakan gunung dengan paku yang menjadikan lembaranlembaran
kayu tetap menyatu.
Fungsi pemancangan dari gunung dijelaskan dalam tulisan ilmiah dengan istilah "isostasi".
Isostasi bermakna sebagai berikut:
Isostasi: kesetimbangan dalam kerak bumi yang terjaga oleh aliran materi bebatuan di bawah
permukaan akibat tekanan gravitasi. (Webster's New Twentieth Century Dictionary, 2. edition "Isostasy", New York,
s. 975)
Peran penting gunung yang ditemukan oleh ilmu geologi modern dan penelitian gempa, telah
dinyatakan dalam Al Qur’an berabad-abad lampau sebagai suatu bukti Hikmah Maha Agung
dalam ciptaan Allah.
"Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak)
goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)

AL QUR'AN DAN ASTRONOMI

Keajaiban Al-Qur’an tentang
AL QUR'AN DAN ASTRONOMI
Asal mula alam semesta digambarkan dalam Al Qur'an pada ayat
berikut: "Dialah pencipta langit dan bumi." (Al Qur'an, 6:101)
Keterangan yang diberikan Al Qur'an ini bersesuaian penuh dengan
penemuan ilmu pengetahuan masa kini. Kesimpulan yang didapat
astrofisika saat ini adalah bahwa keseluruhan alam semesta,
beserta dimensi materi dan waktu, muncul menjadi ada sebagai
hasil dari suatu ledakan raksasa yang tejadi dalam sekejap.
Peristiwa ini, yang dikenal dengan "Big Bang", membentuk
keseluruhan alam semesta sekitar 15 milyar tahun lalu. Jagat raya
tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu titik
tunggal. Kalangan ilmuwan modern menyetujui bahwa Big Bang
merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal dan yang dapat
dibuktikan mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam semesta muncul menjadi
ada.
Sebelum Big Bang, tak ada yang disebut sebagai materi. Dari kondisi ketiadaan, di mana
materi, energi, bahkan waktu belumlah ada, dan yang hanya mampu diartikan secara
metafisik, terciptalah materi, energi, dan waktu. Fakta ini, yang baru saja ditemukan ahli
fisika modern, diberitakan kepada kita dalam Al Qur'an 1.400 tahun lalu.
Sensor sangat peka pada satelit ruang angkasa COBE yang diluncurkan NASA pada tahun
1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan Big Bang. Penemuan ini merupakan bukti
terjadinya peristiwa Big Bang, yang merupakan penjelasan ilmiah bagi fakta bahwa alam
semesta diciptakan dari ketiadaan.
Disadur dari HarunYahya oleh Rika Hermawan

Rasulullah Saw dan pengemis buta

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, "Wahai saudaraku.. jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya".

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan
makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW praktis tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan istri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, "Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?".

Aisyah RA menjawab, "Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja”

"Apakah itu?", tanya Abubakar RA.

"Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana", kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, "Siapakah kamu?".

Abubakar RA menjawab, "Aku orang yang biasa".

"Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", bantah si pengemis buta itu.

"Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut setelah itu ia berikan padaku", pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, "Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW".

Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, "Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.."

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.

Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kisah di atas; pertama, berbuat baik kepada orang lain tak mesti harus diketahui oleh orang yang menerima kebaikan itu, nanti Allah akan membuka kebaikan kita kepada banyak orang walau kita telah mati, misal lain yang mudah; mendoakan (di malam hari, di dalam rumah, ketika selesai sholat tahajjud) tetangga yang belum mau melakukan sholat, mendoakan orang lain yang mengganggu agar mendapat hidayah agar mengentikan kejahatan yang ia lakukan. kedua, perbuatan baik itu tidak mesti mendapat pujian, terkadang malah dicaci-maki, ini memerlukan mental kesabaran yang cukup. Ketiga, kebaikan itu dibuat tanpa melihat status orang lain, walau kepada orang yang derajatnya rendah sekalipun, atau manusia yang tak lagi berarti dalam kehidupan.

Nah, wahai saudaraku, bisakah kita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah SAW? Atau adakah setidaknya niatan untuk meneladani beliau? Beliau adalah adhimul akhlaq (khuluqin ‘adhiim), semulia-mulia akhlaq.

Kalaupun tidak bisa kita meneladani beliau seratus persen, alangkah baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari apa yang kita sanggup melakukannya. Dengan hal-hal yang mudah.