Minggu, 14 November 2010

KISAH SEORANG PREMAN


Di suatu pagi, di sebuah musholla, ada majelis ta’lim yang diikuti oleh sekitar delapan orang di ruang utama. Majelis itu membaca sebuah kitab yang dibacakan oleh seorang di antara mereka, yang lain terlihat khusuk menyimak, seakan mereka baru mendengar apa yang dibacakan. Sering terjadi komat-kamit pada bibir mereka ketika mendengar nama Allah, Rasulullah saw. dan orang-orang suci, seperti para sahabat nabi. Itulah mereka yang sedang melakukan i’tikaf selama 3 hari di situ. Itulah mereka yang disebut oleh orang sebagai Jamaah Tabligh, meskipun nama ini bukan nama resmi yang mereka akui, namun banyak masyarakat kita yang faham bahwa mereka adalah kelompok penyampai (Jamaah Tabligh), padahal kegiatan mereka sangat banyak, termasuk belajar bagi yang baru mengenal Islam. Metode belajar inilah yang menjadi ciri khas Jamaah Tabligh, lain daripada metode belajar yang dikenal dalam dunia pendidikan. Bahkan banyak praktisi pendidikan tidak memahami metode yang satu ini. Sebagai contoh, ketika sekelompok ilmuwan dari UGM mengadakan penyelidikan terhadap kegiatan itu, mereka masih menyimpulkan bahwa mereka ini adalah kelompok atau aliran dalam suatu keyakinan, tidak dipandang sebagai metode belajar.
Dunia pendidikan mengenal secara umum bahwa belajar memerlukan ruang kelas pada sebatas almamater dengan bimbingan seorang (guru/dosen/ustadz) yang lebih berpengalaman dalam bidang ilmu yang dipelajari, sementara Jamaah tabligh memiliki ruang belajar di alam terbuka seluruh alam dengan menimba pengalaman yang tak terduga. Seperti penolakan dari masyarakat yang didatangi atau penyambutan yang luar biasa. Itu semua memerlukan sikap yang arif dan bijak sehingga tidak menimbulkan permasalahan. Sikap itu muncul seketika mereka menghadapi masalah yang timbul. Di sinilah pengalaman akan berperan penting untuk mengambil sikap secara cepat agar masalah selesai dengan baik, dan inilah sesuatu yang didapat bukan pada kitab-kitab besar sebagaimana anggapan orang bahwa ilmu itu ada pada kitab-kitab. Walau memang bahwa belajar memerlukan guru pembimbing, namun dalam belajar menghadapi situasi diperlukan latihan langsung di lapangan. Seandainya kegiatan belajar ini diikuti oleh orang-orang yang sudah mempunyai modal ilmu yang cukup maka akan lebih baik keadaannya.
Itulah sebabnya, Jamaah Tabligh di mushola kecil itu berada di sana untuk belajar. Dan pada hari ini mereka kedatangan seorang preman di desa itu yang berteriak meminta semua yang ada di dalam mushola itu keluar, dengan suara lantang, layaknya seorang pendekar yang haus perkelahian. Dengan wajah bersungut-sungut preman itu mondar mandir di depan musholla yang berhalaman luas itu.
“Hai, semua yang di dalam, keluaaaar!.......! teriaknya.
Anggota majelis ta’lim itu terbelalak kaget, menengok keluar, tetapi pimpinan jamaah hanya menyuruh salah satu untuk keluar menemuinya. Seorang di antara mereka keluar dengan lemah lembut mendekat disertai ucapan salam dan menyerahkan tangan untuk menjabat preman itu tanpa rasa khawatir, bahkan penuh kasih sayang. Sebuah sikap yang berlawanan dengan lelaki yang di depannya. Bagaikan seekor kambing di depan harimau lapar, sikap lembut berhadapan kepongahan preman desa itu sangat menyolok perbedaannya.
Tak disangka, bogem mentah datang dari tangan preman menghujam perut pemuda yang lemah lembut itu, sepontan ia tersungkur di halaman rumah ibadah itu. Melihat pemuda kurus mengenakan jubah putih itu menggelepar kesakitan, agaknya premain itu ketakutan, seketika itu ia mengambil langkah seribu.
Rupanya pukulan preman desa itu tidak bisa dianggap ringan karena menyebabkan pemuda berjenggot tipi situ pingsan. Teman-temannya berhamburan keluar menolongnya, memapah naik ke teras musholla. Untuk pertolongan pertama diberi air minum putih, tetapi kesakitan yang sangat sehingga ia tidak sadar diri. Dan segeralah menghubungi teman sesama anggota pengajian yang tinggal di daerah itu untuk membawanya ke Puskesmas terdekat.
Selama 3 hari ia dirawat di Puskesmas Suradadi sehingga mengurangi jadwal kegiatan i’tikaf dan ibadah rombongan, berganti untuk bergiliran menunggu teman yang sakit. Biaya pengobatan dipikul bersama teman dan bantuan dari penanggungjawab setempat.
Akhirnya, 3 hari sudah lewat, i’tikaf selesai bersamaan dengan selesainya perawatan seorang di antara mereka. Pagi itu jamaah berkemas untuk pulang ke rumah masing-masing. Apa yang terjadi? Ada kabar dari masyarakat bahwa pada hari ini baru ditemukan preman desa itu mati tanpa diketahui tetangga, di rumahnya. Jazadnya sudah berbau tak sedap. Rupanya sudah 2 hari ia mati.
Semenjak kejadian itu, jika ada jamaah i’tikaf di desa itu, tak ada yang berani usil. Inilah kisah yang saya dengar dari seorang teman jamaah, ketika aku i’tikaf 3 di musholla itu bersama jamaah sekitar bulan Januari 2010.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar